Categories

SOCIAL MEDIA

Rabu, 25 April 2018

Identitas Seksual yang (Dipaksa) Palsu


Gue habis baca berita tentang proses dan prosedur tentang orang yang pengen transgender. Di situ juga ditulis pertimbangan apa aja yang membuat kita "Oke yuk change that willy of yours".

Walaupun gue ga tertarik tentang Lucinta Luna, tapi gue selalu tertarik dengan identitas seksual seseorang. Gue selalu tertarik mendalami hal-hal tabu ini, karena gue melihat kasus-kasus unik. Kasus yang kadang ngga bisa dinalar orang biasa.

Salah satunya ya ini.

Rabu, 11 April 2018

Hey Calon Istri, Jangan Merasa Bengkok


Gue uda tulis banyak banget artikel tentang mencari pasangan hidup dari pilih yang pinter atau yang cakep, takut ketemu mantanhubungan custom-madegak semua orang mau berubah.

Tapi hari ini gue ga mau bahas tentang kecocokan pasangan, gue mau bahas tentang gimana kita memposisikan diri di depan calon pasangan resmi.

Misalkan kalian mau nikah dan mau "serius", banyak yang mengira obrolan serius itu hanya sebatas yuk nikah, kapan ngomong sama nyokap, acara kayak apa dan segala macem.
Padahal yang dimaksud serius, artinya lu udah harus berani terbuka sebuka-bukanya tentang diri lu.

Itu adalah gambling mau lanjutin apa nggak.

Terbuka soal prinsip, soal mau kerja ato ngga, males ngga kalo tinggal sama mertua, males masak nggak, dukung LGBT gak, hal yang ga bisa ditolerir apa aja dan hal-hal mendasar lainnya.

Karena men, ngga semua yang serius mau ngomongin ini, alasannya?
"Ya ntar juga belajar nerima"
"Ah bukan masalah besar, yang penting saling mencintai"
"Ah, cewe gua mah ntar ikut prinsip gua aja/gua nanti ikut apapun keputusan suami gua aja"

Minimal kalo emang mau jadi 'makmum total' harus setuju dan PAHAM sama isi kepala calon suami, emang situ mau 'ngikut keputusan' orang yang bahkan ga lu setujui pemikirannya?

Garis besarnya gini:

1. Pilih orang yang sesuai dengan kebutuhan kita.
2. Pilih orang dengan ideologi sama.
3. Ngobrol panjang duluuuuu, mulai dari pengasuhan anak, boleh berkarir atau nggak, peran gender, peran rumah tangga, tinggal di rumah siapa, keuangan gimana, mau KPR atau sewa, segala macemnya lah.

Banyak banget dari kita yang menggaungkan kesetaraan, apresiasi, hak dan bagaimana wanita mau diperlakukan. Tapi kita sendiri secara ga sadar suka ngerendahin value diri sendiri loh di depan pasangan.

"Kuserahkan nasibku padamu"
"Ku ikuti jejakmu, kemana kau membawaku pergi"
"Tanpa kau, aku tidak lengkap"
"Ngikut aja..."

Ya, romantis ya.



Sebenernya guenya aja kali ya yang emang over-thinking... tapi....

.... menurut gue, ini sedikit kontradiktif sih bagi orang-orang yang teriak-teriak kesetaraan, feminisme, tapi pas mau nikah jadi kayak wow luluh lantah kuserahkan nasibku qalbuku masa depanku apalah aku cuma tulang rusuk yang mudah patah mudah bengkok harus diluruskan.

Ya, sah dan wajar banget sih mikir gitu. Karena budaya kita kan begitu, istri adalah makmum, terserah mau dibawa kemana.
Istri fitrahnya bengkok, makanya butuh suami untuk meluruskan.

Ketika istri berhasil, itu karena suami mengizinkan.
Ketika istri di rumah (padahal dia sukanya kerja), dinikmat-nikmatin aja demi ngebuat pasangan bahagia.
Tanpa suami? Kamu perawan tua, kamu bengkok selamanya, kamu 'gak lengkap'.

Seakan-akan kamu selamanya akan butuh laki-laki untuk 'ngebenerin' kamu.
Selamanya kamu akan dianggap cacat/aib/bengkok kalo ga nikah.
Seakan-akan udah diset bahwa kebahagiaan istri itu hanya karena: 1. Suami.

Oh iya emang bener, tapi secara gak langsung lu emang sengaja memposisikan dirimu di bawah. Lu sengaja menomorsekiankan kebahagiaan lu dengan harapan pihak lain membahagiakan lu.
Walaupun gue juga tau, nggak semua cewek (apalagi lanang) menganut paham kesetaraan dalam rumah tangga.

Karena dengan mengorbankan semua demi suami, mengorbankan hal yang sebenernya kita suka, mengorbankan mau jadi apa, mengorbankan studi, mungkin akan membuat kita menjustifikasikan pilihan 'berserah' itu.
3 taun masih tahan, tapi setelahnya? "Aku berkorban demi kebahagiaan suamiku dengan menjadi IRT, tapi yang memenuhi kebahagiaanku siapa kalau yang aku mau sebenernya meniti karir?"

Padahal, keduanya harus saling membahagiakan.
Dan membahagiakan ngga selalu perlu pengorbanan.

Kayak yang tadi gue bilang loh: kalo lu sendiri menomorsekiankan kebahagiaan lu, jangan harap orang lain akan menomorsatukan. Jangan gambling, jangan taruhan.

Karena banyak juga suami yang setelah nikah pun masih menomorsatukan keluarga kandungnya, setelah punya anak? Menomorsatukan anak. You'll never be number one.

Nah, kan ga lantas dia prioritasin elu juga hanya karena lu prioritasin kebahagiaan dia.

Kalo emang lu memprioritaskan atas dasar itung-itungan, ya pasti bakal kecewa lah. Makanya ngga sedikit yang ngga suka sama mertua bahkan sama anak sendiri, hanya karena dirinya selalu ngerasa dinomor-sekianin.

Lalu karena ngga bisa menyuarakan kecemburuan sosial itu ke suami (karena takut dianggep membangkang), maka cara melampiaskannya adalah.... dengan nyinyirin istri orang yang dibebasin suaminya.

"Ih dia pergi-pergi mulu, gak berkah"
"Ih dia kerja terus, kasian suami ga keurus"
"Alhamdulillah ya buuun, masih dikasih kenikmatan di dalem rumaah, kasian yaaa yang butuh dunia luar untuk bahagia hihi"

Ye salah sendiri dari awal nempatin diri "bengkok", salah sendiri dari awal sok-sok inferior manut.



"Pacarku emang dominan banget sih, mungkin bisa berubah", eits belum tentu, karena watak orang ngga bisa berubah. Maka dari itu ngobrol itu bisa meminimalisir banget. Terlihat ga bisa kompromi? Cut.
FYI, banyak banget loh cowok yang ngebebasin istrinya, banyaaaaaak. Derajat kebebasannya pun beragam, ada yang dibolehin pendidikan ke luar kota sampe sebulan full, dibolehin punya rumah masing-masing, ada yang ngebolehin punya pasangan baru malahan. Intinya, yang ekstrim aja banyak yang bolehin kok, apalagi yang ringan-ringan.

Kelemahan emang berbuah kelemahan lain.
Sok berkorban bisa jadi ngebuat lu jadi korban beneran.

Makanya, first thing first thing first thing first sebelum mau dipinang orang lain!

1. Tau cara membahagiakan diri sendiri, jadi ga usah bahagia karena berkorban, karena nanti bisa capek sendiri.
2. Ngga sok-sok bengkok, tidak lengkap secara mental sehingga butuh hero dan bimbingan total.
3. Punya prinsip sendiri TANPA terpengaruh calon. Jadi dibanding 'ngikut', lebih ke 'jalan bareng'.

Memang, suami sebagai kepala rumah tangga butuh membimbing. Tapi bukan otomatis lu 'bengkok'.

Coba, emang lu yakin lu bengkok?
Jangan-jangan suaminya yang bengkok?
Jangan-jangan kalian berdua lurus-lurus aja?



Eh bentar, emang nikah itu esensinya apa sih? Ada yang berpendapat melengkapi, menemani, buat banyak keturunan, membimbing, apapun itu definisinya ga selalu "meluruskan".

"Lurus" sendiri emang artinya apa? Yakin elu udah lurus? Yakin lu malah ga bawa anak orang ke 'lurus' yang sebenernya melenceng?

Yakin mau istri yang manut-manut aja walaupun jalan 'lurus' yang lu ambil itu ternyata salah?
Jangan dong, makanya peran istri buat gua bukan cuman manut doang. Tapi kasih input, kritik, saran, masukan.

Ada juga yang sudah merasa lengkap, lurus kok saat udah single, makanya ia cari pasangan bukan untuk lurus-meluruskan, tapi untuk jadi temen hidup aja.

"Teman hidup"
Mendampingi, mendengarkan, bantu kasih pendapat, nyelesein masalah..

Jadi, kadang kita butuh jalan sama-sama berdampingan, cari solusi sama-sama, membimbing yang harus dibimbing. Meluruskan yang harus diluruskan, dan itu ga hanya 1 gender tertentu.

Yok kita hilangkan superioritas demi keseimbangan dalam hubungan. Stop merasa inferior dari awal.

Kalian kannnn mulai sama-sama, makanya jalannya harus sama-sama. Ga ada yang merasa lebih, ga ada yang merasa kurang.

Kalo kurang mah diup-size aja, paling nambah Rp. 6000.

Back to Top