Categories

SOCIAL MEDIA

Minggu, 25 Juli 2021

Tentang 25 Tahun yang Banyak Luka


Gue pernah nulis soal masa-masa depresi gue di link berikut: I’m Currently Not Okay

Pada masa itu, tepatnya sekian bulan yang lalu, sekitar awal tahun, gue di titik melontarkan “gue mau mati” out of nowhere, pada momen yang random, misalkan lagi makan, ngga mikirin apa-apa, tiba-tiba kata itu ‘loncat’ dari mulut gue. Followers Twitter gue (yang protected itu) pasti tau bahwa gue sering ngetweet bagaimana gue merasa gue pingin mati aja, pingin ngga ada di dunia ini, pingin mengakhiri hidup. Awalnya, gue merasa bahwa penyebab dari hal tersebut adalah perasaan ngga berguna di masa pandemi ini, namun kadang gue merasa kalau ini adalah akumulasi trauma-trauma gue yang lalu-lalu.

Seseorang pernah berkata, “kamu hadapi dong trauma kamu”. Mungkin dia ada benarnya, karena apapun problem hidup yang gue alami, selalu cepat-cepat gue kubur dan ‘move on’, sehingga hidup gue terlihat dinamis, tapi tunggu dulu: apa benar masalah yang dikubur itu sudah menjadi ‘mayat’? Apa ternyata gue cuma ‘membius’ monster secara sementara aja?

Kalau ‘membius’, mau sampai kapan? Kalau ‘bius’nya sudah hilang, apakah mau lanjut ‘dibius’ lagi? Diam-diam diberi uap agar monster itu tertidur, sedangkan gue cuma diem dari jauh sambil melihat apakah ‘uap bius’ itu bekerja? Kalau ‘uap bius’nya udah ga mempan, mau pakai ‘bius’ apa lagi? 

Perlahan gue menyadari bahwa apa yang SUDAH gue lalui, ternyata masih sakit kalau diingat. Ternyata, hal yang sudah lewat, hal yang menurut gue ‘baik-baik saja’, menjadi tidak ‘baik-baik saja’ kalau ketrigger sama sesuatu.

25 tahun membawa luka, 25 tahun menghadapi banyak momen-momen gelap, 25 tahun semuanya terakumulasi. Apakah perkara mental ini ada karena gue yang terlalu takut untuk menghadapinya? Apakah gue seorang pengecut? Apakah gue merasa lebih baik melupakan tanpa mencari tau cara mengobatinya? 

25 tahun semua trauma terakumulasi, diabaikan, bagaimana jika sudah 30 tahun? 40 tahun? Bisakah hidup sambil memelihara monster-monster tidur tersebut?

Lalu, bagaimana jika monster tersebut bangkit secara bersamaan? Ketika obat bius sudah habis, ketika ditekan dengan problem lain? 

Dilanjutkan dengan pertanyaan pamungkas:

Kapan rantai ini terputus?

Siapa yang mau memutus rantai ini? Gue? Gue ga kuat, gue ngga setangguh itu. Ah masa iya ga setangguh itu? Emangnya udah berlatih untuk tangguh? Latihan seperti apa yang udah dijalankan sehingga memutuskan bahwa gue ngga tangguh? Dari mana menyimpulkan hal tersebut kalau latihan, dicoba, dan dihadapi saja tidak pernah? 

Dokter anastesi fungsinya untuk support dokter bedah, dokter yang secara cermat mengangkat tumor-tumor tersebut. Tanpa dokter bedah, peran dokter anstesi di meja bedah hanya membuat si sakit ini terbaring lelap, melupakan penyakitnya secara fisik, namun organ dalamnya akan tetap menghancurkan si sakit tersebut. 

Begitupun gue, gue harus jadi dokter bedah, bukan dokter anastesi. Ketika monster gue sedang tertidur, harusnya gue bisa mengobati isu-isu itu, “mumpung tidur”, katanya.

Akhirnya gue merasa bahwa, gue punya masalah dalam mengatasi problem sendiri, gue harus coba cara lain, karena cara mengubur, membius, itu tidak efektif. Gue harus menghadapi, mencari solusi alternatif, menyadari bahwa apa yang gue lakukan selama ini, ternyata tidak baik buat jangka panjang.

Tapi gue gak bisa melakukannya sendiri.

Mungkin minta bantuan professional, mungkin minta support orang terdekat, mungkin dengan cara menangis dengan jujur, mungkin dengan mengonsumsi obat penenang, mungkin dengan mendekati objek trauma itu, dan 'mungkin dengan mungkin dengan' lainnnya.

Nahla strong banget, yeah, at what cost?

Untuk saat ini, gue harus bersyukur bahwa gue uda ga bergumam-gumam hal suicidal seperti awal tahun 2021. Gue harus bersyukur bahwa HEYY I’M MAKING PROGRESS dengan menyadari bahwa ada metode yang salah dalam menghadapi trauma. 

Trauma yang terakumulasi ini menjadikan gue orang yang super insecure dalam menghadapi apapun, sekali pun outcome nya bagus, seakan dikerjakan oleh orang yang percaya diri.

Penghargaan gue terhadap diri gue sendiri itu rendah sekali, as if nobody will love me if i’m not doing things extra. Maka dari itu harus ambisius, harus sempurna, kerjaan harus bagus, wajah harus cantik, style ga boleh gembel, main biola harus berkembang, harus dapet nilai bagus, harus bisa ini itu yang tidak bisa dicela, padahal “ketidaksempurnaan itu ada untuk bahan evaluasi, ‘kan?” hanya untuk ditangkis dengan “emangnya siapa yang bakal nerima aku kalau aku ga sempurna?”

Aku, aku yang ga terima.

Padahal harusnya gue tau bahwa ga semua orang melihat kekurangan gue, ga semua orang bahkan sadar sama hal-hal yang menurut gue ga sempurna, ga semua orang pun peduli sekalipun mereka tau bahwa gue tidak sempurna, dan orang-orang tertentu menerima gue dengan tangan terbuka, walau kadang ga sesuai ekspektasi mereka. Ngga, bahkan orang-orang tertentu ngga berekspektasi apa-apa atas diri gue.

Jadi siapa dulu yang harus dibunuh? Nahla yang ngga menerima ketidak-sempurnaannya, atau Nahla yang pengecut ga bisa menghadapi traumanya sendiri?

Udah, gue pingin hidup tenang, hidup santai, hidup dengan ringan dan bercanda-canda, pingin happy, pingin bertanggung jawab atas diri sendiri.

Udah ya, maafin diri sendiri, udah ya, udah stop, kasian kamu, kamu berhak mencoba lagi semuanya, dari awal, awal banget, ngga usah membawa memori-memori buruk dari masa lalu, dimulai aja, ngga apa-apa, dengan kondisi beda, umur beda, konteks beda, manusia-manusia yang berbeda, objek yang kamu traumakan bisa jadi ngga akan terulang lagi.




3 komentar :

  1. Semangat ya kak, we love you ��

    BalasHapus
  2. Semangat nahla, aku baca blog kamu udah lama banget, semoga kamu kuat,

    BalasHapus

Halo..
Semua komentar akan dimoderasi, jadi jangan kasar-kasar yaaa...
Kritik dibolehin lah pastinyo, cuman yang membangun eaaa~

Back to Top