Categories

SOCIAL MEDIA

Selasa, 04 Juni 2019

Orang Tua Kita Ngga Sempurna


Sekarang banyak banget momfluencer (termasuk gue) yang menggaungkan TIDAK HARUS MENJADI ORANG TUA YANG SEMPURNA, IT’S OK TO BE NOT OK, UTAMAKAN KEWARASAN DIRI DALAM MENJADI ORANG TUA, ME TIME. Including me, of course.

Tapi satu sisi lagi, isu inner child juga lagi mencuat seiringan dengan kesadaran orang-orang terhadap kesehatan mental. Inner child atau kasarnya “masalah yang belum terselesaikan saat kita masih anak-anak, yang menyebabkan problem saat dewasa”.
Disitu kita ngeluh, banyak, tentang orang tua.

Kenapa orang tuaku dulunya suka ambisius.
Kenapa orang tuaku ga pernah apresiasi anak-anaknya.
Kenapa orang tuaku akur tapi ngga work hard financially, sehingga dulu keluargaku miskin.
Kenapa orang tuaku A, B, C.

Ya disaat kita sendiri berlindung di balik “TIDAK HARUS JADI ORANG TUA YANG SEMPURNA”, kita sendiri nyalahin orang tua karena menyebabkan ‘luka lama’ bernama inner child.

Dan gue mikir….

Mereka juga bukan orang tua yang sempurna.
Seperti apa yang kita gaung-gaungkan sekarang terhadap diri sendiri.

Kalau kita berharap orang tua kita adalah orang yang sempurna, artinya gue bullshit banget kalo menggaungkan “It’s ok to be imperfect”. 

Harusnya kita juga bilang, “Ngga apa-apa kok kalau mama/papa melakukan kesalahan” ke orang tua kita sendiri. 
Harusnya sebelum encourage orang lain untuk “FORGIVE YOURSELF", sebaiknya kita maafkan dulu DIRI kita dan apa yang ada di sekitar kita: orang tua. Baru kita bisa encourage orang lain untuk embrace their weakness.

Karena, mempromosikan “me time” itu enak dan gampang, ya namanya kan justifikasi atas waktu leha-leha kan? That’s freaking easy.

Yang susah itu mempromosikan “forgiving our parents”, karena tiap anak pasti punya luka yang disebabkan orang tuanya.

Kita terus-terusan menghibur diri dengan mempromosikan, “yaudah ngga apa-apa kalau kita sekali-dua kali kelepasan ke anak, toh kita manusia juga”,
tapi kita sendiri inget-inget terus pukulan/bentakan orang tua - yang mungkin juga cuma sekali-dua kali - dan membenci mereka sampai dewasa.

Gue tertolong banget sama konsep me time, kewarasan diri, yang penting gue sebagai ibu harus happy. Karena katanya; happy mommy happy kids.

Tapi apakah itu bener?

Gimana ya, kalau anak diem-diem membatin, “Mama kenapa ngejar pendidikan terus? Karena mama ngejar pendidikan terus, aku jadi ambisius juga. Aku jadi takut ketinggalan, peer pressure. Mama juga jadi ngga ada waktu sama aku”.

Atau, “Mama kenapa harus jalan-jalan sama papa TANPA aku? Apa aku cuma beban untuk mama papa?”

“Kenapa papa harus selalu punya me time? Apakah artinya aku mengganggu ketenangan papa?”

“Apakah aku ngga terlalu dibutuhkan ya?”

“Kenapa mama cuma masakin yang remeh-remeh atas nama ‘kewarasan’? Padahal aku bisa makan yang lebih dari ini. Kenapa mama/papa ga mau usaha masak yang lebih bergizi?”

Dan kenapa-kenapa yang lain.

Karena gue denger cerita, banyak banget orang dewasa yang inner childnya belum selesai, orang dewasa yang masih terlukaaa sekali. Padahal mereka juga bukan korban KDRT, pelecehan atau apapun yang berat-berat kayak di berita. Ternyata, yang membuat mereka terluka ngga selalu hal-hal ‘besar’ yang ekstrim, bisa aja hal-hal ‘kecil’. Yang sangat impactful bagi mereka.

Gue jadi merenung, apakah konsep me time, kewarasan, dkk dkk, kelak akan menyebabkan inner child yang baru ke anak kita?
Apakah konsep “imperfect mother” akan works ke anak kita?

Apakah konsep 'ibu yang bahagia adalah anak yang bahagia', akan 100% berhasil?

Karena temen gue cerita, ibunya gagal nikah 2x dan workaholic karena ngga dapet santunan dari mantan suaminya. Tapi ketika ibu itu mencari ‘kebahagiaan’ dalam bentuk pacaran dan kenalan sama orang baru, anak-anaknya protes.

Satu sisi, anak-anaknya emang butuh kasih sayang ibunya.

Satu sisi, kehidupan ibunya ya cuman kerja-rumah-kerja-rumah, karena membiayai 4 orang anak itu ngga mudah. And we know how stressful is that, right?

Makanya gue ngga menyalahkan kalau si ibu ini mencari ‘angin segar’ dengan menjalin hubungan.

But life isn’t always about “Happy mommy happy kids”. Kita harus terima, bahwa kadang salah satu pihak akan lebih happy dari yang lain.

Ibu bahagia karena launching produk sukses, anak kesepian.
Anak seneng karena ibunya IRT, ibu stress karena ngga punya kontribusi ke masyarakat.
Ibu seneng anaknya berprestasi, anak stress karena merasa dipaksa belajar.
Anak seneng ngeband, ibu gelisah takut anaknya jadi orang yang misQin.

Karena, selamanya ibu dan anak adalah 2 entitas yang berbeda. Punya rasa yang berbeda. Mau gimana pun kita brainwash pikirannya, mereka kelak akan punya pemahaman sendiri, persepsi sendiri, kesimpulan sendiri, in silence.

Inilah yang terjadi sama kita dan orang tua kita.

Mau orang tua kita brainwash kita untuk selalu ranking 1, kalo anaknya emang ngga suka ya dia akan stress/membantah dalam diam.

Mau orang tua kita brainswash kita untuk jadi arsitek, kalau anaknya udah punya minat sendiri ya mau apa?

Motherhood is always like that.

Akan selalu ada luka yang disebabkan either anak atau orang tua. Namanya juga hidup bareng-bareng.

Jadi orang tua itu berat, harus kerja keras, mendidik anak, survey sekolahan, merawat anak, nganterin vaksin, update berita parenting, ikut-ikut seminar, baca-baca instastory @haloterong atau @annisast @grace.melia @winditeguh.

Dan jadi anak pun juga berat. Ngga minta dilahirkan, pas dilahirkan kok hidup kita diatur-atur? Kok kita harus hidup di dunia yang mengerikan dan serba tidak-pasti ini? Kok kita harus menghargai orang yang lebih tua? Kok kita harus hidup sesuai dengan standar yang ortu kita pasang?

Susah emang.

Paling gampang emang sama-sama memaklumi aja kalau orang tua kita ngga sempurna. Paling gampang emang membatin, “Yaudah namanya juga manusia, ngga ada yang sempurna”.

Untuk memaafkan dan mencintai orang tua kita yang ngga sempurna. Seperti mereka yang mencintai kita walaupun kita ngga sempurna juga.

Jadi, konsep IMPERFECT MOTHER harus kita terapkan juga ke ibu kita. Jangan cuma ke kitanya doang.

And i know that’s hard.

Maka jadikanlah lebaran sebagai momen maaf-maafan. Maafin aja dulu.

6 komentar :

  1. Wah setuju banget Mbak Nahla! Aku sudah menyadari ini sejak lama, tapi ternyata untuk menerapkan hal ini pun super susah! Tapi harus terus diupayakan, sih. Hehehe. Makasih Mbak Nahla!

    BalasHapus
  2. Kadang masih suka nyalahin kalo ortu terutama emak bilanh "sifat kamu tu jelek banget, padahal udah mamak contohin yang bagus bagus" dan aku dalam hati selalu ngebrontak karena sepanjang hidup ku ga pernah lepas dari emak. Jadi apa yang terbentuk padaku ya hasil pahatan ortu lah, cuma ortu ga sadar pas sehari hari ngeluarim sifat itu. Setelah aku baca ini aku yang merasa sadar diri kak. Aku tau ituu salah dan aku egois itu semua kesalahan ortu ngedidik. Thanks kak nahla, lebaran ini aku belajar memaafkan diriku sendri dulu emang ��

    BalasHapus
  3. Malem lebaran baca ini..ya allaah...mbaaak..makasiih..😢

    BalasHapus
  4. Memaafkan orang tua itu berat. Bener2 perlu cari kenapa dulu mereka begini begitu sikapnya sampai akhirnya bisa masuk logika aku sebagai anak yang udah jadi ibu.
    Tapi setelah berhasil ya sudah...semuanya jadi lebih ringan

    BalasHapus
  5. Apa yang di tulis di sini bikin ngebatin "bener juga ya" and then langsung ngebedah konsepsiku terhadap pernyataan "happy mom happy kids".

    BalasHapus
  6. Tahun 2021 ini semakin ngeri, jadi orang tua seakan salah banget. Ya, apalagi sedang marak gerakan Childfree. Aku sempet down baca2 komentar mereka, kebanyakan lahir dari keluarga menengah kebawah. Himpitan masalah finansial memang ga mungkin bisa jadi orang tua sempurna, tapi kalau terlahir dari keluarga old money kemungkinan kecil bakal mempertanyakan kenapa dia dilahirkan kan hehe. Ya Aku sempet down, kena mental gitulah sampai mau bunuh bayi aku karena takut jadi orang tua yang ga sempurna. Takut menyakiti anak secara nggak sengaja, takut kebawa saat dia dewasa walaupun kita udah minta maaf. Takut anakku nanti nggak bisa menghargai pengorbananku karena kata mereka itu resiko menjadi orang tua. Tapi benarkah begitu? Lebih parahnya kita dituntut punya alasan punya anak, tapi kita ga boleh menjadikan anak sebagai objek kebahagiaan kita, bahkan mengharap doa anak saja sudah dipandang salah. Aborsi anak salah, bunuh anak makin disalahin, padahal SJW2 ini ga punya solusi kecuali kalo finansial kamu ga seperti baim wong ato raffi ahmad ya jangan punya anak. Dan itu pun belum cukup, masih akan berbuntut panjang lagi persoalan cara pengasuhan si anak ini. 😂

    BalasHapus

Halo..
Semua komentar akan dimoderasi, jadi jangan kasar-kasar yaaa...
Kritik dibolehin lah pastinyo, cuman yang membangun eaaa~

Back to Top