Categories

SOCIAL MEDIA

Senin, 18 Maret 2024

3 Alasan Kenapa Percaya Hoax, Nomor 3 Membuat Tercengang!

To foil fake news, focus on infectiousness | Stanford News
Credit: Getty Images

3 Alasan Kenapa Percaya Hoax, Nomor 3 Membuat Tercengang! - Kayanya kita semua pernah ngerasain yang namanya sensi sama orang tua yang kemakan hoax grup WhatsApp. Generasi kita (KITAAA SIAPE KITAAA) suka merasa lebih kritis dari generasi tersebut, lah abisnya gimana? Mereka kok bisa-bisanya percaya hal-hal yang mustahil secara logika?? Kok bisa percaya aja kalau bapak-ibu Presiden Jokowi tuh orang Tionghoa? Kok bisa percaya aja sama virus yang mengubah orang menjadi zombie?? Kok percaya aja sama teori konspirasi yang aduh plis banget kata gw teh, ga masukkk akal sama sekali.

Sampai-sampai gue mengalaminya sendiri.

Gue ngeliat video di reels/TikTok, di video itu tuh ada buah tapi warnanya aneh gituu lho. Video tadi tuh sangat believable dan sempurna secara visual (high-resolution, tidak terlihat seperti hoax, terlihat RIIL cuy), sehingga gue percaya.

Gue tanya lah ke Eki, "sayang ini beneran gak sih??"

Lalu Eki menjawab,

"Hati-hati sayang, jangan gampang percayaan, nanti kayak ibu-ibu grup WhatsApp".

LALUUU GW TERTAMPAR WKWK.
Gue mulai memahami jalan pikir orang tua yang gampang termakan hoax, karena ternyata gue
berada di 'orbit' itu. Gue udah lengah dalam mempercayai konten yang beredar di media sosial, pertahaman gue atas konten palsu tuh udah mulai kedobrak, dan ini semua terjadi dengan sangat natural.

Akhirnya gue bisa menyimpulkan 3 alasan kenapa orang bisa percaya sama hoax.
Menurut gue, faktor yang bisa membuat orang-orang bisa kemakan hoax adalah:

1. Perkembangan teknologi yang terlalu maju

Teknologi udah terlalu cepat untuk orang yang kesehariannya tidak berkutat di wilayah itu. Gue ngga nyalahin kemajuan teknologi lho ya, tapi untuk orang dewasa dengan fokus hidup beragam dan intens, mengikuti perkembangan teknologi tuh tidak jadi prioritas. 

Generasi di atas gue bisa percaya pada website berita online yang sumbernya meragukan, tapi fair enough kok: mereka ngga tau kalau website berita ternyata bisa dipalsukan. Duh, siapa sih yang nyangka kalau nama portal berita resmi aja bisa dibuatin website palsu dengan plesetan nama yang ngga mungkin disadari kalau ngga teliti?

Generasi gue lebih parah lagi, kami berkutat dengan AI. Kami hidup di jaman di mana muka orang bisa ditempel ke badan orang lain dan suaranya bisa dipakai untuk sampling buat ngomongin hal apapun, berat kan?
Generasi gue masih bisa bedain video hoax kalau bentuknya masih low resolution dan editannya ngga alus, tapi kalau udah berhadapan dengan AI yang canggih? Susah bro.

Video hoax dari AI udah high resolution semuaaa.... Gue pernah liat video telur yang pas dipecahin tuh isinya kuningnya doang, kecil-kecil dan jumlahnya banyaaak banget, kayak ada 25 kuning telur, apakah gue percaya? Harusnya kan nggak, tapi videonya udah reaaal banget.

Gue juga bisa 'sedikit' curiga karena gue tau lah dikit-dikit soal video editing, masking gambar, lah kalo ibu-ibu bapak-bapak itu gimana? Bisa jadi konsep edit video tuh ga ada di kepala mereka, hanya ada proses ngambil gambar dari hape terus di-upload dan disebarkan.

Konsep 'seeing is believing' udah ngga bisa diandalkan lagi di jaman AI, satu-satunya alat 'pemindai' hoax hanyalah akal sehat dan kemampuan kritis yang lebihhhh tajam lagi.

2. Malasnya (dan REPOTNYA) mencari informasi

Kembali lagi ke konsep makin tua makin sibuk, makin pusing, makin males ngurusin yang gak penting. Faktor kemalasan ini didukung oleh fabrikasi sempurna oleh AI, begh sungguh sulit tantangannya.

Sebetulnya, naluri untuk percaya dengan mudahnya tuh sungguh ada, mungkin inilah yang membuat orang tua di grup WA juga percaya, karena 'kemasan' hoaxnya tuh believable banget, sampai-sampai merasa ngga perlu untuk mengkaji ulang berita yang didapat. Gampangnya, ngapain dicari ulang? Toh berita/video yang gue liat udah real banget kok.

Gue ga membenarkan sifat malas mencari informasi, namun untuk orang dewasa yang maha sibuk dan maha pusing, gue sangat memaklumi banget, karena proses mencari kebenaran itu makin hari makin susah. Mencari kebenaran di era post-truth ini bagaikan mencari selembar kertas HVS kosong di tumpukan sampah dokumen, susah. Bayangin, kadang googling aja ngga cukup, karena terlalu banyak berita tendensius yang mem-back up hoax tersebut di search engine. Kalau Google aja siwer nyaring berita, gimana gue coba? Hahahah!

Sekali lagiiii, gue ga membenarkan 'malas'nya nyari informasi tambahan, namun serius, makin kesini tuh batas antara asli dan palsu makin kabur.

3. Jaman sekarang, apapun jadi mungkin.

Menurut gue, kepercayaan ini sih yang ngebuat orang gampang kemakan hoax. Hadapilah, jaman tuh makin aneh dan makin rusak. Dalam 10 tahun terakhir aja udah berapa banyak ke'anehan' jaman yang terjadi? 

Covid,
AI,
Berita kriminal yang terlalu immoral dan surreal,
Isu resesi ekonomi di Indonesia,

Hal-hal aneh tersebut tuh nyata. 
Covid aja yang segitu bahaya dan 'aneh' aja nyata kok, maka bisa jadi virus zombie di grup WA keluarga itu terjadi di jaman sekarang.

Dunia udah makin aneh cuy, kasus pedofil kalangan elit aja udah kebongkar (merujuk ke berita Jeffrey Epstein), maka modus operandi lain juga mungkin aja terjadi meskipun ternyata hoax. 

Semangka bentuk kotak aja ada kok, terus kenapa gue ga boleh percaya adanya telur yang isinya kuning telur kecil-kecil sebanyak 25 butir?

Dunia udah seaneh itu sampe-sampe orang percaya berita palsu yang paling konyol sekalipun, karena dunia nyata dan dunia hoax itu kadar aneh dan prik-nya setara.

***

Akhirul kata, gue udah capek banget sih catch up dengan berita sekarang. Semoga gue tetep diberi kekuatan pikiran untuk selalu kritis dan tidak pernah lengah dan berakhir dengan kemakan hoax.


 

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Halo..
Semua komentar akan dimoderasi, jadi jangan kasar-kasar yaaa...
Kritik dibolehin lah pastinyo, cuman yang membangun eaaa~

Back to Top