Categories

SOCIAL MEDIA

Kamis, 23 November 2023

Kursi dan Memaknai Benda Mati

(Bahasa yang gue gunakan adalah bahasa implisit jadi mohon harap kita ber((SASTRA)) dulu dalam memahaminya)




Jadi, waktu kapan hari, gue duduk di satu kursi, dan orang yang lebih muda dari gue duduk di kursi sebelah gue. Orang yang lebih muda dari gue bilang, “Loh, kakak ga apa-apa duduk di situ??” Terus gue merespon dengan, “emang ada aturannya ya?” Dia bilang, “iya, biasanya yang duduk di kursi ini tuh senior-senior gitu kak”. Gak usah dibayangin ya kursi ini dan kursi itu tuh peletakannya gimana, pokoke ada sebuah hierarkal dari dua buah kursi ((ini)) dan yang ((itu)), yang ((ini)) buat yang lebih senior, dan yang ((itu)) buat yang junior.


Hal yang sama terjadi lagi ketika gue duduk di kursi ((itu)) dan orang yang lebih muda dari gue duduk di kursi ((ini)), jadi semacam terbalik 😂 gue pun ditanya lagi, “kakak duduk di situ?”

Di lain tempat, gue diberi wanti-wanti sama seseorang kalau “udah, kamu kalau kursinya belum ditentukan tempat duduknya, duduklah di kursi paling belakang dan di sisi ((itu)), entah di tempat mana pun, di mana pun orangnya, karena pengaturan kursi itu sensitif, jadi kursi belakang itu yang paling aman”

Sungguhlah, ternyata bukan cuma kursi pemilu yang sensitif, kursi yang lain juga ada aturannya.

Aku belum paham, aku pikir semua kursi itu bagus dan asik. Kursi depan is nice karena bisa langsung melihat yang menjadi acuannya. Kursi tengah is nice karena bisa melihat orang-orang di depan sebagai salah satu acuan sekaligus melihat objek acuan utamanya. Kursi belakang is nice karena aku bisa lihat grup secara keseluruhan dari sudut pandangku karena vision viewnya akan lebih lebar.

Metode yang gue suka dalam penentuan kursi ((ini)) dan kursi ((itu)) adalah metode suit karena suit itu seru dan sportif. Suit juga merupakan sebuah pertandingan yang mencapai kesepakatan, aku suka suit.

Kursi dan dinamika sosial ini membuat gue inget kata mas Yayu Unru dalam kelas penciptaan Pascasarjana IKJ:

Sesuatu memiliki arti karena kita yang memberi arti terhadapnya.

Mas Yayu mempraktekkannya dengan berakting di depan segelas gelas (apa yak lupa dah)

Ia berakting takut di depan gelas tersebut

Berakting segan di depan gelas tersebut

Berakting tidak peduli di depan gelas tersebut

Efek dari akting dia bener-bener mengubah persepsi gelas, kadang gelas itu terlihat seperti gelas kerajaan, kadang jadi gelas biasa, kadang gelas seram, kadang gelas yang memicu amarah.

Padahal gelas adalah benda mati, gelas akan tetap menjadi gelas, objek tidak bernyawa, tapi ia punya nilai.

Nilai yang diterapkan terhadap benda mati - apapun itu - tercetus berdasarkan pemahaman kolektif dan konvensi dalam ruang tersebut.

Kita sebagai individu yang berada di dalam suatu kelompok, atas nama adaptasi, dituntut untuk bisa memahami pemahaman kolektif tersebut yang sifatnya abstrak.

Kemampuan orang dewasa emang gak cuma bayar listrik dan urus NPWP ya, membaca konvensi dan pemahaman kolektif juga soft skill dalam dunia kerja.

Hal ini cukup butuh kesadaran ekstra ya, karena konvensi merupakan peraturan tidak tertulis yang menjadi lumrah dan disepakati secara pasif menyangkut sebuah tradisi tertentu. 

Maka (dalam pemahaman liar gue wkakakaka), kalau ada orang yang mengkultuskan kotak makanya ya sudah mungkin konvensinya emang begitu. Mungkin pemahaman kolektif yang dipegang adalah “kotak makan adalah portal sakral yang menghubungkan cinta satu orang dengan yang lainnya”. 

Sama seperti tas branded ya, nilai jualnya adalah membeli heritage dan bahan baku eksklusif, padahal kalau mau ngayal lagi, kalau ternyata bahan baku eksklusif itu ternyata harganya cuma 1/5 dari harga jual, gimana? Apakah orang lantas protes dan merasa rugi? Ngga kok, karena mereka udah punya pemahaman kolektif soal value tas branded di kalangan mereka itu. No probs, asik-asik aja, tetep punya makna materiil dan non-materiil yang didapat. Tas luxury brand juga jadi instrumen konvensi yang menyangkut strata sosial ya, misalkan kalau mau masuk circle A, minimal kelas luxury brandnya minimal Prada, tapi ini sifatnya #YTTA.

Apakah itu hal bodoh? Ngga lah. Suatu masyarakat punya nilai yang dipegang bersama itu hal yang wajar sekali. Seperti gue dan kursi-kursi itu, seperti penggemar tas dan tas luxury brand, dan seperti sekte kotak makan yang ada di imajinasi gue.

Gue pikir mungkin yang bisa head-to-head dengan konvensi adalah aturan tertulis ya, karena konvensi kan sifatnya non-lisan. Tapi kalau udah ada peraturan tertulis yang tidak sejalan sama pemahaman kolektif, gimana?


(Jadi mumet mikir soal dampak peraturan tertulis yang berbeda dengan pemahaman kolektif)

(Tau gitu ga usah mikir ampe sana)



Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Halo..
Semua komentar akan dimoderasi, jadi jangan kasar-kasar yaaa...
Kritik dibolehin lah pastinyo, cuman yang membangun eaaa~

Back to Top