Categories

SOCIAL MEDIA

Senin, 28 September 2020

Afirmasi Positif dan Mempertanyakan Rezeki

 “Kamu tuh harus menerapkan afirmasi positif”, kata salah satu temen deket gue. 



Afirmasi positif itu semacam software yang di-install di otak agar kita selalu berpikir positif, memvisualisasikan hal yang kita inginkan, sehingga terciptanya sikap optimis dalam diri.

Sikap optimis sendiri artinya melihat titik terang dalam tiap-tiap kejadian, bahkan kejadian yang buruk sekalipun. Sikap optimis membuat kita selalu mencari jalan keluar, menjaga kobar api perjuangan (woelah), dan ngga usah terlalu khawatir sama yang belum terjadi lah!

Gue sendiri pernah melihat sebuah video yang menjabarkan kinerja otak kita ketika kita berpikir yang negatif, sel otak kita akan mempercayai pikiran negatif itu sebagai hal yang nyata sehingga hormon yang dikeluarkan, reaksi yang terjadi, adalah kuda-kuda kita dalam menghadapi hal negatif. Hal ini tentu buruk, karena hormon yang keluar dari dalam otak adalah hormon stress... gitu ga sih? Kok gua lupa yaa! HAHAHA.

Gini lho, gue itu udah lama banget ga berpikir optimis, i became a very very skeptic person since my divorce years ago. 

Gue merasa bahwa berpikir optimis itu kadang mengecewakan kalau hasilnya ga sesuai ekspektasi, gue merasa bahwa kadang hidup itu emang suka ngelawak aja walaupun amunisi dan support system kita sudah kokoh, kadang berusaha semaksimal mungkin ngga menjamin hasilnya bakal bagus.

Bahkan gue kadang membatin, “duh... kayaknya faktor luck dalam hidup gue tuh minim banget deh. Gue harus berusaha mati-matian untuk mendapatkan sesuatu”. Gue ngga bisa kayak orang-orang yang tiba-tiba ketomplok rezeki, dapet undian, dan lainnya. Gue harus berusaha lebih keras, ngulik lebih cerdas, dan melakukan hal ekstra lainnya, ngga kaya beberapa orang yang - sepengelihatan gue sih - ngga terlalu berusaha-usaha amat tapi lho kok dia hoki banget? Kok bisa dapet kesempatan itu? Kok bisa gina-gini-gitu? Gue ini kurang apa memangnya?

Call me stuck up or whatever lah ya, tapi gue merasa i did enough, enough to have the chance that was given to other people who don’t try as hard as i do. 



Namun gue tau pola pikir gue ini beracun banget lho untuk diri sendiri. Gue melihat semua hanya dari sudut pandang gue doang, gue merasa nasib yang diberikan ke gue kok ‘gini amat’ padahal bisa jadi gue itu kufur nikmat a.k.a kurang bersyukur. Gue terlalu terfokus kepada usaha gue dan hasil yang diterima, tanpa memikirkan variabel lain, yaitu 1) orang lain yang terlibat dan 2) bukan berarti usaha gue yang kurang keras, tapi memang belum ‘dateng’ aja hasilnya, dan 3) ke sok-tauan gue itu memang membuat diri gue menderita.

Gue terlalu transaksional sama diri sendiri, “aku kan udah latihan ABC, harusnya aku uda dapet DEF” padahal dunia ngga seperti itu ya. 

Kita tidak akan tau rezeki yang datang kepada kita itu balasan atas perbuatan baik kita yang mana, pun kita tidak akan tau rezeki yang TIDAK datang kepada kita itu apakah balasan perbuatan buruk atau justru perbuatan baik.

Apakah rezeki bisa berbentuk nihil?

Apakah orang-orang yang sepi job di luar artinya ia dilindungi dari dunia luar agar tidak terkena kontak dengan pandemi?

Apakah orang-orang di umur senja yang tidak memiliki pasangan artinya dijauhkan dengan kompromi-kompromi?

Apakah orang yang tidak subur artinya dijauhkan dari biaya-biaya membengkak?

Kalau kaya gini kan mau ngga mau kita jadi inget kisah Nabi Khidir tentang sebuah manfaat dibalik kehancuran, tentang misteri sebuah nasib, tentang semesta yang emang kadang suka iseng.

Sebetulnya, memang lebih nikmat jadi orang yang positif lho, karena kita ngga menggunakan otak kita untuk mikirin hal yang ngga enak, karena toh berpikiran positif atau tidak, akan selalu ada jawaban yang ngga bisa kita hindari.

Kamu nembak cewek, cewek itu udah pasti akan nolak, ya mendingan kamu berpikir positif aja dibanding negatif, toh hasil akhirnya sama-sama nolak, hahaha! Sesimpel karena berpikir negatif membuat mood kita jelek, sedangkan kalau berpikir positif, sedihnya pas udah kejadian. 

Berpikir positif sejatinya bukan menolak untuk sedih, tapi untuk tidak sedih sebelum momen kesedihan itu datang.

Berpikir positif dapat membuat hati kita sakit ketika ia datang dengan pengharapan yang dosisnya berlebih. Padahal, di dalam dosis pengharapan yang tinggi, ada sebuah racun bernama “nafsu”, sehingga berpikiran positif itu bisa jadi negatif kalau kita ngga hati-hati.

Gue berpikir kalau orang yang hidupnya lurus-lurus aja, minim rintangan, punya keuntungan sendiri, yaitu ngga usah merasa ‘berusaha’ untuk berpikir positif.

Untuk mereka yang - entah sial apa begimana nih pak - hidupnya terjal, berpikir positif aja susah banget, lalu bisa seheran itu sama orang yang selalu optimis dalam hidupnya. 

Apakah gue pengen jadi orang yang positif? Iya sih, kalaupun pengen, semata-mata agar isi kepala gue lebih kalem aja. Gue pingin jadi orang yang positif bukan karena ingin ‘buah’ darinya, tapi semata-mata karena ingin menghindari pikiran negatif aja.

Ibarat dukung Jokowi karena males sama Prabowo.

I don’t know, i’m just so tired that i want to be that mindless positive girl like one from those shoujo mangas, the type of character that i - unfortunately -  hate the most. 

Namun kali ini, as desperate as i can get, boleh lah ya mengesampingkan naluri aksi-reaksi yang gue simpulkan dari kejadian yang dulu-dulu, dan menjadi mindless positive?


Ya nggak lah ah.


Kenapa sih solusinya harus ekstrim? Kalau ga ekstrim realis ya ektrim positif, kalau ngga ekstrim depresif ya ekstrim motivator. 


Kalau gitu, aku ga mau jadi mindless positive, aku mau jadi yang realistis aja!


LHO KOK JADI BALIK LAGI KWKWKW

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Halo..
Semua komentar akan dimoderasi, jadi jangan kasar-kasar yaaa...
Kritik dibolehin lah pastinyo, cuman yang membangun eaaa~

Back to Top